Ceritanya,
ini tentang musibah yang menimpa kami, seorang teman meminjam uang dengan jumlah yang cukup lumayan
besar, tidak etis kalau saya sebutkan nominalnya disini, karena saya merasa
hubungan teman dekat, saya percaya begitu saja. Namun, sayangnya ini berakhir
seperti penipuan, janji yang dia berikan tak kunjung ditepati hingga hari ini….
Waktu itu tahun 1997 uang seribu sama dengan/senilai seratus ribu sekarang.
Tidak
hanya itu, awal masalahnya karena merasa teman, saya tidak minta jaminan
apa-apa dan aku pikir uangnya juga saya pinjamkan ke Bank atas nama saya dengan
jaminan potong gaji saya, itulah yang membuat saya kecewa, dan marah sekali.
Saya tahu justru ketika akhirnya seperti ini. Saya marah, pasti!, kecewa, jelas
! komplein hampir selalu saya menyinggung masalah tersebut dengan istri saya.
Betapa tidak, itu uang pinjaman Bank dan gaji saya dipotong tiap bulan selama
36 bulan, uang yang kami impikan akan belikan rumah masa depan kami. Ya, Allah
raib begitu saja…..
Namun, menjelang ulang tahun
pernikahan kami saya terus berpikir ulang, saya sudah minta maaf ribuan kali
atas kekhilafan saya kepada istri saya, tanpa bermaksud menyembunyikan apa-apa
dari istri saya. Entahlah, saya pernah membahas dengan istri, saya pernah membaca pilar-pilar dalam sebuah
perkawinan, salah satunya adalah keterbukaan, apalagi ini masalah finansial.
Bukankah meja akan sanggup berdiri dengan empat kakinya, dibandingkan satu
kakinya patah, iya kan, begitupun pilar perkawinan ini?
Intropeksi
ini terus saya lakukan, saya banyak merenung, istri saya tahu saya hanya
khilaf, saya yakin itu, saya hanya sedang berproses menerima keadaan ini,
menerima kenyataan bahwa gaji kami ludes, menerima bahwa kami harus mulai dari
nol lagi, dan menerima bahwa istri dan saya juga hanyalah korban saja
atas sikap ssya yang pada awalnya hanya ingin menolong seorang teman. Dan, yang
terpenting saya harus menerima inilah keputusan Allah kepada kami, mungkin kami
sedang diuji atau ditegur?, Wallahuallam.
Sepuluh
tahun kemudian tepatnya tahun 2008 terulang kejadiannya, datang seorang teman
dengan dalih ingin kerja sama usaha bengkel, dan karena saya belum lunas
pinjaman Banknya, akhirnya saya pinjamkan atai nama teman saya sesama mengajar
di SMP Negeri di Kota Musi Banyuasin Sumatera Selatan, Saya merasa tertarik
ajakannya dan saya setujui dengan modal yang saya pinjamkan dari teman saya,
Bengkelpun dibuka sebagai usaha bersama, sehari dua hari lancar sebulan dua
bulan lancar tapi bulan ketiga sudah ada tanda-tanda penghianatan, saya kecewa
dan dengan emosi yang tak terkontrol akhirnya usaha bersama itu saya serahkan
kedia seutuhnya dengan catatan dia punya utang sama sama, dia pun menyetujui,
tapi hanya menyetujui saya tidak membayar utanya sampai hari ini. Dengan dua
kejadian itu saya merasa saya betul-betul sedang diuji, mengetahu hutang saya
pada teman saya saya bayar ketika saya meminjam kridit bankm memang belum lunas
tapi saya tetap akan membayarnya karena itu utang saya pada teman saya.
Akhirnya melalui proses waktu perlahan lahan saya mulai menerima keadaan ini,
saya mulai realistis, saya berpikir lagi haruskah kualitas dan hubungan kami
rusak hanya karena hal ini? Mungkin, inilah salah satu riak dalam bahtera yang
kami jalani, adilkah jika semua ini yang telah kami bina bersama, ditukar
dengan rupiah (bukan bermaksud mengecilkan arti uang uang tersebut) Tetapi,
saya tidak mau mempertaruhkan istri, saya tidak mau semua rusak karena ini,
saya berusaha membentuk komunikasi kami kembali, mencoba berdoa bersamanya
untuk mendapatkan jalan keluar yang terbaik,
Orang
bijak pernah berkata :
“ Kalau ingin bahagia dan sehat, fokuslah pada apa yang kita punya bukan pada yang kita tidak punya…”
“ Kalau ingin bahagia dan sehat, fokuslah pada apa yang kita punya bukan pada yang kita tidak punya…”
Mungkin,
kalau saya boleh mengartikan kita mesti banyak bersyukur pada apa yang telah
kita miliki, daripada kita sibuk meratapi apa yang kita tidak punya,
Saya
mantap dengan pilihan saya, saya fokus pada keluarga, dan pada semua yang ada
sekarang, saya tidak mau meratapi uang itu lagi, saya belajar mengikhlaskannya,
Kini,
menghitung hari menuju ulangtahun pernikahan kami, saya belajar sesuatu, saya
belajar mencintainya dengan cara memaafkan setulus hati kesalahan yang telah
dibuatnya…
Ya
Allah, Semoga saya bisa terus bersamanya, lebih lama dari selamanya…….